http://Jejakhukumnusantara.com, Jakarta -Kasus perundungan anak saat ini tengah menjadi sorotan. Setelah adanya kasus anak sekolah yang matanya ditusuk oleh tusukan cilok/bakso hingga mengalami kebutaan, terbaru muncul kasus bullying siswa SMP hingga korban mengalami patah tulang rusuk.
Bahkan dari video yang viral di media sosial, pelaku bullying melakukan kekerasan fisik dengan memukul, menendang hingga membanting korban. Korban akhirnya dirawat di rumah sakit karena mengalami luka di bagian dada hingga mengalami sesak nafas.
Hal tersebut mendapat tanggapan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Paun Maharani Ketua DPR RI mendorong pemerintah untuk segera mencari solusi agar hal serupa tidak terjadi lagi
“Banyaknya kasus bullying membuat Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat perundungan. Negara tidak boleh membiarkan kasus bullying terus mengalir tanpa ada solusi yang komprehensif, khususnya untuk perundungan yang melibatkan anak sebagai korban dan pelaku,” kata Puan, Jumat (29/9/2023).
Politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan ini menekankan pentingnya sekolah mengedepankan pendidikan karakter, untuk membangun mental yang positif bagi para siswa. Lebih lanjut Ia mendorong Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk membuat kurikulum untuk membangun karakter siswa yang positif.
“Penting sekali agar pendidikan budi pekerti kembali masuk dalam kurikulum di sekolah, karena menjadi modal penanaman akhlak untuk anak. Pendidikan bukan hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang membentuk karakter dan mental yang kuat pada para siswa,” jelasnya.
Ia meminta Pemerintah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan maraknya kasus bullying di Tanah Air. Menurutnya, praktik bullying bisa disebabkan dari banyak faktor. Mulai dari lingkungan sekitar, maupun dari internal keluarga.
“Jadi penanganannya tidak bisa sendiri-sendiri karena saling berkaitan. Banyak kasus ditemukan, pelaku bertindak bully karena ia juga menjadi korban bullying. Faktor kurangnya support system dan bebasnya konten di media sosial juga bisa menjadi penyebab,” ujar Puan. (*)