jejakhukumnusantara.com, Jakarta –Fenomena politik uang atau money politic masih menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Terkait pengawalan Pemilu di tahun depan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program ‘Hajar Serangan Fajar’ mengimbau warga Klaten untuk menentang dan menolak praktik politik uang yang dapat menjadi pemicu korupsi.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam kegiatan Perayaan Ulang Tahun Paguyuban Warga Klaten ke-5 di Jakarta, Minggu (27/08/2023). Dikatakan Alex, sudah bukan menjadi rahasia lagi jika setiap penyelenggaraan Pemilu baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang.
Apabila masyarakat dengan senang hati menerima politik uang, maka perilaku tersebut dapat memberatkan para kepala daerah serta wakil rakyat. Sebab, ongkos politik/demokrasi yang tergolong sangat mahal dapat memicu kepala daerah/wakil rakyat melakukan tindak pidana korupsi.
“Menjelang pencoblosan banyak orang yang berbagi rezeki. Kami mendorong nanti tahun depan ketika Pemilu tolong hindarkan diri dari perbuatan untuk menerima sesuatu dari calon. Para kepala daerah atau wakil rakyat yang menang akan berhitung berapa uang yang dikeluarkan untuk mengikuti Pilkada atau Pemilihan Legislatif, dan itu nanti yang akan diusahakan untuk kembali modal,” ujar Alex.
Para kepala daerah yang terjaring KPK dalam perkara korupsi tak lepas dari praktik balik modal. Alex menambahkan, praktik balik modal yang dilakukan kepala daerah bisa diusahakan dalam berbagai macam hal.
Misalnya, Area Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang rawan terjadinya penggelapan aset akibat pengamanan yang lemah, atau pada Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) yang rawan suap/gratifikasi proyek.
“Pengadaan Barang/Jasa dan proses perizinan kenapa begitu sulit, kenapa banyak pekerjaan konstruksi yang tidak beres, ya, karena tadi itu ada mark up, ada kualitas yang diturunkan untuk mengejar setoran,” jelas Alex.
Dihimpun dari data KPK, biaya politik calon bupati/wali kota rata-rata Rp30 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih selama 5 tahun di bawah biaya politik. Begitu pula dengan biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar, sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya tidak terhingga atau unlimited.
Untuk diketahui, KPK pun pernah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Mantan Bupati Klaten Sri Hartini tahun 2016 silam. OTT tersebut terkait perkara tindak pidana korupsi berupa penerimaan sesuatu oleh Penyelenggara Negara terkait pengisian jabatan di Pemerintah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sri Hartini divonis hukuman 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. (Engko)